Oleh Siti Jamilatul Husna
1210302045/ FKIP Bahasa Inggris /Semester 6
Jakarta lagi-lagi kebanjiran. Suatu
problem yang tak kunjung terpecahkan bahkan semenjak zaman penjajahan Belanda.
Pada masa itu, sudah dibangun kanal-kanal oleh pemerintah kolonial, mirip
sistem dam dan polder di Belanda. Namun, solusi yang tepat
diterapkan di sebuah negara, ternyata belum tentu sesuai dilakukan di tempat
lain. Sekian abad selanjutnya, banjir masih menjadi momok rakyat Jakarta.
Kebiasaan bangsa kita, yang cenderung cuek pada peraturan, dan seenaknya
sendiri membuat masalah banjir ini kian hari kian parah. Selama bulan
Januari-Februari, pikiran kita akan pusing tujuh keliling tentang banjir, namun
setelah air surut segera pula kita lupa, berkutat dengan hal lain. Tahun depan,
banjir kembali datang dengan debit air yang makin besar, makin banyak pula
sampah dan penyakit yang terbawa.
Perihal banjir ini seakan menjelma
menjadi masalah nasional. Saya pernah menyaksikan show stand-up comedy oleh
Abdur, seorang komika yang menyorot masalah ini. Segala keluh kesah penduduk
Jakarta bisa mudah diakses oleh seluruh rakyat Indonesia. Kok bisa? Ternyata karena media nasional mayoritas
bermarkas di Pulau Jawa, dan oplah koran dan majalah didominasi oleh pelanggan
kota-kota besar. Topik bahasan utama, seputar segala seluk beluk polemik di
Jakarta. Efeknya, masalah penduduk Indonesia di pelosok seakan tenggelam,
hilang tak terdengar. Bahwa di Indonesia Timur bahan makanan susah didapat,
kasus balita kekurangan gizi, bencana kekeringan dan permasalahan akses kesehatan-pendidikan
minim diberitakan. Empati kita menumpul gara-gara disuapi berita-berita kurang
penting seperti masalah rumah tangga selebritis dan sebagainya. Lagi-lagi
didominasi Jakarta dan segala hiruk pikuk dunia showbis nya.
Padahal negeri ini bukan hanya
Jakarta. Negeri ini tersusun oleh banyak pulau, provinsi, kota, beragam suku,
ras dan latar belakang. Warna-warni yang kadang diangkat, namun lebih sering
terbengkalai. Betapa jauh perbedaan gemerlapnya Jakarta dengan ibukota-ibukota
provinsi di luar Jawa?Anehnya, Indonesia masih menjadi pasar luar biasa besar
bagi produk-produk luar negeri. Kita hanya diminta membeli, bukan memproduksi.
Tanpa sadar, jalanan makin macet, penuh motor dan mobil pribadi. Di tempat
lain, seperti pedalaman Kalimantan akses jalan susah luar biasa. Bahkan ada
ojek bertarif 600 ribu sekali jalan, saking beratnya medan jalan berlumpur dan
resiko motor terperosok ke jurang. Tahukah Anda mengapa jeruk lokal masih lebih
mahal dibanding jeruk impor, semisal dari Cina? Ternyata akses jalan yang buruk
membuat biaya transportasi melonjak, juga sebagai kompensasi atas sekian persen
jeruk yang rusak selama perjalanan. Itulah mengapa jeruk dan berbagai buah lain
menjadi mahal walau didatangkan dari dalam negeri. Ternyata, jarak geografis
yang secara logika dekat, ternyata tidak benar-benar “dekat”. Ada jarak
ekonomis yang membuat pengiriman dari Jakarta-Singapura, atau katakanlah dari
Cina ke Indonesia, jauh lebih murah dan efisien. Padahal kita tahu jarak
geografisnya jauh sekali.
Saya kira, penyebab dari ini semua
adalah keinginan kita untuk mendapatkan segala sesuatu secara cepat. Makin
instant sebuah proses, makin disukai. Alhasil, daripada susah payah mengedukasi
petani dan peternak mengenai teknologi pertanian dan pembudidayaan yang baik,
lebih praktis mengimpor dari luar negeri. Pasokan beras tidak mencukupi
kebutuhan pasar? Beli saja beras Vietnam. Daging, tekstil, barang eletronik,
kendaraan bermotor, mayoritas diimpor dari luar. Namun yang paling parah adalah
impor garam! Ini paling mengenaskan. Negeri ini punya garis pantai terpanjang
di dunia, tapi untuk memenuhi kebutuhan garam saja ternyata harus mengimpor.
Selain itu, korupsi ternyata juga
sumber masalah mengapa Indonesia tak kunjung maju. Karena korupsi, akses jalan terbengkalai
gara-gara biaya infrastruktur disunat di sana-sini, bahkan dari sejak proses
tender pun sudah manipulatif. Karena korupsi, subsidi kesehatan dan pendidikan
tak sampai pada orang yang memerlukan. Karena korupsi, kita pusing dengan
polemik Cicak versus Buaya jilid II yang begitu ruwet karena menyangkut
nama-nama orang “penting” dan berkuasa.
Tapi tunggu dulu, korupsi dan suap
tak semata dilakukan para pejabat,
pegawai tak jujur dan pengusaha culas. Kita pun sehari-hari berkutat dengan
ini, tanpa disadari. Saat ditilang, kita “berdamai” dengan oknum polisi agar
tidak ribet mengurus persidangan. Mengurus surat-surat penting hingga urusan
beli tiket saja kita sering menggunakan “jasa” calo. Mark-up anggaran
pun seakan lazim, bahkan di tingkatan OSIS dan BEM sekalipun! Inilah mengapa
korupsi sukar diberantas, virusnya sudah menyebar ke lapisan terbawah.
Perjalanan menuju Indonesia
berdikari memang masih jauh. Namun tidak surut optimisme saya, bahwa
masalah-masalah negeri ini bisa diselesaikan. Kita hanya perlu berpadu, menjadi
lebih tertib dan berempati, mengembalikan arti persatuan, mengurangi mindset
Jakartasentris dan memaksimalkan potensi kedaerahan. Pelangi Indonesia
marilah kita perjelas bersama-sama.
Komentar
Posting Komentar