Kita begitu berbeda dalam semua


Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu...
Saat kudekap kau dekaplah lebih mesra...
Lebih dekat...
Apakah kau masih akan berkata...
Kudengar detak jantungmu

Kita begitu berbeda dalam semua
Kecuali dalam Cinta...
Soe Hok Gie


               Meski berada tepat di sampingnya, sesungguhnya aku merasa jauh. Dunia kami begitu berbeda. Pandangan, keyakinan dan kebiasaan, benar-benar laksana langit dan bumi. Sebuah fakta yang kusadari betul akhir-akhir ini. Kuperhatikan di dahinya mulai ada tanda gelap, sebagaimana ciri khas orang-orang komunitasnya. Mungkin dia memang lebih rajin sholat sunnah sekarang, pikirku. Dua porsi mie ayam di depan kami segera licin tandas. Setelahnya, kami langsung pulang. Kuminta ia mengantar sampai Blabak saja, biar tidak usah berputar lagi.

                “Kalo gitu kuantarin sampai Stasiun ya ....” Katanya lelaki berwajah Arab itu menawarkan.
                “Oke ...Terima kasih.” Balasku singkat. 

                Sejak perjalanan pulang  dari pelatihan menulis tadi, aku memang lebih banyak diam. Menjawab pertanyaannya pun hanya dengan kalimat-kalimat pendek. Ada satu hal yang mengganjal di hati. Namun aku sendiri belum tahu apa sebenarnya ganjalan itu. Maka, sepanjang jalan Magelang-Jogja itupun, lebih banyak terisi kesunyian. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing.

                Tak terasa, kami sudah sampai di Stasiun Blabak. Aku lekas turun, dan mengucapkan terima kasih atas tumpangannya.
                “Justru aku yang harus berterima kasih padamu. Workshop menulis barusan sangat bermanfaat. Jazakallah ma’al akhsanal jaza’.”
                “Anytime.” Jawabku sambil berusaha tersenyum.

                Kemudian, lelaki berwajah Arab itu segera melajukan motornya ke arah Pasar Blabak, menuju rumahnya di Mungkid. Aku tetap berdiri di sana, sambil berharap-harap cemas karena hari sudah menjelang petang. Batinku berbisik, “Semoga masih ada angkutan.” Syukurlah, tidak beberapa lama kemudian engkel Magelang-Muntilan yang kunanti muncul.

                Duduk di engkel, kursi favoritku yaitu satu kursi tunggal dekat jendela, pikiranku menerawang pada pertemuan kami sesaat lalu. Tiba-tiba jawaban yang kucari tadi muncul tak terduga. Ganjalan yang kurasakan, sebenarnya manifetasi perasaan kecewaku. Pada sang kekasih di masa lalu, tempat di mana ingin kutambatkan lagi hati ini namun kenyataan berkata lain. Berbagai perbedaan diantara kami bertubi-tubi terlintas dibenakku, membuat nyaliku ciut untuk mengambil langkah lebih jauh.

                Barangkali, kami memang tidak ditakdirkan untuk bersama.
***

Komentar