Sosok Bapak Dahlan Iskan di Mata Saya (#1)


Saya pertama kali mengetahui sosok Bapak Dahlan Iskan dalam program Sentilan Sentilun di Metro TV. Kala itu beliau masih menjabat sebagai Direktur Utama PLN. Pada hari itu saya sudah takjub dengan pembawaan beliau yang cukup nyleneh untuk ukuran pejabat negara. Dengan rileks beliau duduk bersila di meja/kursi lengkung yang bentuknya cukup unik. Dan coba anda lihat sepatu beliau! Hoho. Baru kali ini saya lihat ada pejabat yang kemana-mana memakai sepatu kets. Kesannya casual sekali, jadi tidak terasa berjarak sebagaimana pejabat lain yang pakai sepatu bermerk nan mahal. Baju yang dipakai juga sederhana saja, kemeja dan celana panjang. Kelak saya tahu, gaya berpakaian seperti itu memang ciri khas beliau sejak dulu.

Ini kali kedua beliau menjadi tamu acara Sentilan Sentilun, sudah menjadi menteri BUMN.

Dalam acara itu, Ndoro Sentilan dan Sentilun juga kagum pada beliau. Gagasan-gagasan dan inovasi yang telah dilakukan oleh beliau di PLN sangat menarik untuk disimak. Mendengarkan dialog mereka sungguh menimbulkan optimisme pada diri saya, bahwa suatu organisasi bisa diangkat dari keterpurukan bila dipimpin oleh pemimpin yang tepat dan pengaturan yang efisien. Pak Dahlan sempat curhat, penyebab PLN defisit melulu itu karena  PLN kurang didukung oleh pemerintah. PLN tidak diijinkan menggunakan Gas Alam sebagai tenaga pembangkit dan bahkan ketika harus menggunakan Batu Bara PLN dikenai harga Internasional. Dengan kondisi yang seperti itu PLN tetap diharapkan mampu menghidupkan listrik di Indonesia. Oleh karena itulah PLN akhirnya membakar diri sendiri atau dengan istilah lain merugi. Source. Beliau juga menyampaikan, dalam sebuah kepengurusan tidak mungkin semuanya buruk. Orang-orang yang “membawa kerusakan” itu sebenarnya kira-kira hanya 20 persen, sedangkan yang 80 persen sebenarnya mengikut saja. Kalau diarahkan baik, ya akan baik, dan begitu juga sebaliknya. Nah, asalkan ada yang memimpin mereka ke arah yang benar, maka kepengurusan akan berjalan baik. Itulah pertama kalinya saya mengenal sosok Bapak Dahlan Iskan.

Berselang beberapa waktu kemudian saya melihat tayangan investigasi kapal Tampomas (kalau tidak salah dalam program Journalist On Duty). Saya takjub dan kagum sekali karena ada Bapak Dahlan lagi, dan kali ini beliau adalah narasumber dalam posisi beliau sebagai wartawan. “Oalah ...jebule wartawan to....1 begitu pikir saya. Yak, saya baru tahu kalau beliau itu dulunya wartawan, dan ternyata bos Jawa Pos group. Saat tragedi kapal Tampomas terjadi, Bapak Dahlan adalah wartawan Tempo, dan beliaulah yang ditugasi kantor pusat Tempo di Jakarta, untuk meliput berita tersebut ke Makassar. Kisah lengkapnya bisa anda baca di Tempo>>  “Rajutan ceritanya yang dimuat di edisi 7 Februari 1981 begitu hidup. Membaca tulisan Dahlan laksana berada di lokasi kejadian. Suasana tegang dan cemas begitu terasa”, adalah ilustrasi yang pas untuk menggambarkan kalau liputan Bapak Dahlan bukan sekedar liputan biasa. Beliau begitu total mengerjakan investigasi tersebut, bahkan sampai berhari-hari tidak tidur demi mewawancarai awak kapal, sekaligus menjaga agar berita tersebut tetap ekslusif. Kelak liputan soal Tampomas tersebut menjadi salah satu akar investigasi ala Tempo.

Sejak menyaksikan kedua tayangan tersebut saya makin penasaran dengan sosok beliau. Ulasan lebih mendalam saya dapatkan di acara Kick Andy Metro TV dan Tabloid Nova. Fokusnya ada pada operasi hati yang dijalani beliau pada tahun 2008. Setiap ada nama beliau di surat kabar maupun media lain saya sangat tertarik untuk mencermatinya sampai selesai. Perlahan tapi pasti, saya jadi mengidolakan tokoh ini. Sepak terjangnya sangat menginspirasi, meski beberapa pihak mengganggap apa yang dilakukan beliau sekedar pencintraan. Saya kurang sependapat dengan pandangan itu.

(Saya akhirnya berhasil bertemu beliau langsung dalam sebuah seminar di kampus saya, silahkan anda baca Sosok Bapak Dahlan Iskan di Mata Saya (#2)
  
*1-Oh ..ternyata beliau ini wartawan 
*Mengenai episode Sentilan Sentilun yang saya maksud bisa juga anda baca di Kompasiana

Komentar